Pertama: Tentang Hakikat Hikmah Puasa
Hal keadaan ini berdasarkan hadits Abi Hurairah yang telah diriwayatkan
oleh Ibnu Majah sebagai berikut:
رُوِيَ عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: لِكُلِّ شَيْئٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ
الصَّوْمُ وَالصِّيَامُ نِصْفُ الصَّبْرِ.(رواه ابن ماجه)
Sahabat Abi
Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Setiap sesuatu ada
zakatnya. Sedang zakat bagi jasad (badan) adalah puasa, dan puasa adalah
separuh dari sabar. (HR. Ibnu Majah).
Dalam Ihya Ulumuddin karangan Imam Ghazali
r.a. menambah sebuah hadits yang lain yang kalimatnya:
الصبر نصف الإيمان
“Sabar itu setengah dari iman.”
Dengan demikian adalah puasa itu seperempat
dari iman. Betapa tidak karena melaksanakan puasa adalah dasarnya sabar.
Sedangkan pengertian sabar adalah melaksanakan sesuatu oleh karena kita
mengetahui bahwa pelaksanaan itu di samping sebagai perintah Allah juga
mendapatkan manfaat dan tidak akan mendatangkan mudharat. Maka mengerjakan
sesuatu oleh karena kita meyakini sesuatu itu bermanfaat, itulah yang dikatakan
dengan sabar. Demikian juga pengertian meninggalkan larangan Allah oleh karena
larangan tersebut membawa kepada kemudharatan baik di dunia apalagi di akhirat.
Dan dapat dipahami dari hadits di atas bahwa melaksanakan puasa Ramadhan
berarti kita memberikan zakat buat tubuh kita, jasad kita, mata yang telah kita
pakai manfaatnya, tangan, kaki, dan sebagainya Allah ta’ala telah memberikan
manfaatnya buat kita; maka wajarlah puasa perintah Allah buat manusia agar kita
bersyukur kepada-Nya dengan melakukan puasa.
Maka puasa pada hakikatnya adalah zakat yang
kita lakukan dari batang tubuh kita dengan berbagai anggotanya. Barangsiapa
yang tidak berpuasa berarti orang itu tidak tahu diri dan tidak bersyukur
kepada Allah atas tubuhnya yang telah dia ambil manfaat dalam hidupnya.
Hadits kedua:
عَنْ اَبِى
سَعِيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ أَوْصَانِيْ خَلِيْلِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ عِبَدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِىْ سَبِيْلِ اللهِ تَعَالَى
اِلاَّ بَاعَدَ اللهُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ
خَرِيْفًا. (رواه البخارى ومسلم)
Sahabat Abi
SA’id Al-Khudri r.a. telah berkata: Kekasih-ku Muhammad SAW telah berwasiat
kepadaku: “Tidak ada seorangpun yang berpuasa satu hari di jalan Allah (sunat),
kecuali Allah akan menjauhkan dirinya dari siksa neraka sejauh perjalanan tujuh
puluh tahun pada hari itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Teranglah pemahaman dari
hadits ini, apabila hati seseorang tidak mengakui bahwa puasa itu adalah
syari’at Islam, baik puasa sunat apalagi puasa fardhu, orang itu tidak
diselamatkan Allah ta’ala pada hari kiamat. Karena ia termasuk golongan PKI,
artinya pengingkar kewajiban Islam, yaitu sama kualitasnya dengan orang-orang
komunis yang menganggap agama adalah candu, di mana pemahaman ini sangat
berbahaya. Menurut jumhur ulama diistilahkan dengan zindiq, yaitu
lahiriahnya Islam, namun pada hakikatnya ia keluar dari Islam itu sendiri. Maka
barang siapa yang meninggalkan puasa wajib baginya mengqadha puasanya, apabila
ia meninggalkan puasa bukan karena sakit yang membawanya kepada maut. Dan
apabila ia tidak sempat mengqadha puasanya itu maka wajiblah baginya
mengeluarkan fidyah setiap hari satu mud beras atau dalam takaran kita 2,5 ons
untuk seberapa lama ia meninggalkan puasanya. Dan jika telah dua tahun
terlambat mengqadha puasanya sehingga datang dua Ramadhan, maka wajib atasnya
dua mud tiap-tiap harinya dan demikianlah seterusnya. Tiga tahun dia berlalai
tidak mengqadhanya maka wajib atasnya membayar 3 mud, dan puasanya yang tinggal
itu mesti dibayarnya seberapa hari yang telah ditinggalkannya itu.
Pelanggaran Puasa
Orang-orang yang
bersetubuh di siang hari puasa dengan sengaja, baik dimasukkan kemaluannya ke
kemaluan depan atau belakang dengan batas hilang kepala kemaluannya maka wajib
atasnya dua kewajiban.
Pertama, mengqadha puasanya itu, dan yang
Kedua adalah:
a. Wajib membayar kifarat, yaitu memerdekakan seorang hamba yang Islam,
b. Jika tak
sanggup hal tersebut atau tidak ada hamba yang dapat dibeli, maka wajiblah
berpuasa 2 bulan berturut, tidak boleh seharipun batal,
c. Jika hal
tersebut juga tak sanggup dilaksanakannya, maka wajiblah atasnya memberi
sedekah makanan kepada 60 orang miskin 1 mud seorang,
d. Apabila ia
tidak berkemampuan juga terhadap hal itu atau tidak adanya hamba sahaya muslim
maka tetaplah ia berhutang selamanya hingga suatu ketika kelak bisa
dilaksanakannya.
Jika perlakuan di atas
dilakukannya 2 hari, maka wajiblah atasnya dua kali lipat membayar kifarat itu.
Akan tetapi apabila dalam satu hari dilakukannya beberapa kali , tiadalah
berulang atau berlipat kifaratnya, hanya dikira satu kifarat sahaja.
Berbicara tentang dosanya
bukanlah urusan manusia karena melanggar perintah Allah ta’ala, maka Allah lah
yang dapat mengampunkan dosanya, apabila ia bertaubat dan memohon keampunan
Allah.
Kedua: Tentang Zakat Fitrah; Hakikat Hikmahnya
Rasulullah SAW telah bersabda dari Ibnu Abbas yang telah diriwayatkan oleh
Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Hakim, sebagai berikut:
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: فَرَّضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ طُهْرَةَ لِلصَّائِمِ مِنَ الَّلغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً
لِلْمَسَاكِيْنِ فَمَنْ اَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ
وَمَنْ اَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَةِ. (رواه أبو
داود وابن ماجه والحاكم وقال صحيح على شرط البخارى)
Sahabat Ibnu Abbas r.a. telah berkata:
“Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang
berpuasa dari perbuatan kotor dan tak berguna, dan sebagai penyantunan terhadap
fakir miskin. Barang siapa membayar zakat sebelum pelaksanaan shalat ‘Id, maka
itulah zakat yang makbul. Dan barang siapa membayar zakat sesudah pelaksanaan
shalat ‘Id maka yang demikian adalah sedekah biasa (bukan zakat fitrah).” (HR.
Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Hakim. Dan Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini
shahih, sejalan dengan riwayat Imam Bukhari).
Dari hadits di atas dapat kita pahami bahwa
zakat fitrah adalah pembersihan atau penyucian bagi orang yang berpuasa, karena
mungkin saja dalam puasanya itu ia melakukan perbuatan yang kotor dan tidak
bermanfaat. Maka dengan membayar zakat fitrah Insya Allah bersihlah puasa kita
dan merupakan ibadah yang suci sehingga Insya Allah tidak ada celanya.
Allah SWT telah mengaruniakan harta kepada
orang-orang kaya, yakni hartawan di mana dengan kekayaannya itu ia dapat
melancarkan penghidupannya dengan baik. Mereka mewah dengan bermacam-macam
makanan dan pakaian. Maka untuk mensucikan nikmat atas pemberian Tuhan, itu pun
termasuk hikmah kenapa diwajibkan kepada hartawan untuk mengeluarkan zakat
termasuk zakat fitrah. Tetapi zakat fitrah mempunyai hikmahnya yang khusus yang
dikaitkan dengan perintah Allah SWT melaksanakan puasa dengan baik, betul-betul
karena Allah.
Ketahuilah bahwa wajibnya zakat fitrah itu
dikarenakan oleh beberapa sebab:
a.
Islam
b.
Merdeka, bukan
budak
c.
Terdapat
kelebihan belanja buat keperluannya, anak dan istrinya serta
tanggungan-tanggungannya buat malam hari raya dan siang harinya
d.
Dengan
tenggelamnya matahari pada akhir Ramadhan
Penjelasan:
1.
Dengan syarat
(b) di atas, yakni terdapat kelebihan belanja, andaikata orang meninggal dunia
sebelum tenggelam matahari pada akhir Ramadhan maka tidak wajib atasnya zakat
fitrah, begitu pula kalau seorang bayi lahir setelah tenggelam matahari pada
malam hari raya, maka tidak wajib atasnya zakat fitrah. Hendaklah dapatnya
dalam dua hari itu, yakni akhir Ramadhan, 1 Syawal atau malamnya.
2. Boleh bagi barangsiapa yang wajib atasnya zakat fitrah bahwa dikeluarkan
sejak mulai 1 Ramadhan dan sunat dikeluarkan sebelum sembahyang hari raya.
3. Seorang wajiblah mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya, anaknya, dan
orang-orang yang dalam tanggungannya yang menganut agama Islam.
4. Zakat fitrah itu merupakan bahan makanan yang biasa di negeri itu seperti
di negara kita ini adalah beras atau seperti di Irian Jaya adalah sagu yang
kadarnya adalah 2,5 kg.
5. Keadaan fitrah:
Hendaknya zakat itu yang
bersih dari pada, umpamanya: tanah; hapak; berulat; barang yang sudah lama dan
berubah rasa, warna, dan baunya. Perlu diketahui pula andaikata perbelanjaan
kita sebagai yang tersebut pada syarat (c) diatas, hanya berselisih sedikit
dari yang dihajati, maka hendaklah kelebihannya itu dikeluarkan untuk zakat
dirinya, kemudian kalau lebih lagi maka untuk istrinya, jika masih lebih juga
maka untuk anaknya yang paling kecil, kemudian jika berlebihan lagi maka untuk
ayahnya, kemudian barulah untuk anaknya yang besar dan seterusnya sampai pada
pembantu yang menjadi tanggungannya jika belanja tersebut masih ada lebihnya
juga.
Catatan Penting:
1. Apabila zakat fitrah itu diserahkan kepada amil zakat, baik sifatnya kepada
pemerintah atau swasta, maka yang berhak menerima zakat itu adalah 8 macam
mushtahiq:
·
FAKIR, yaitu
mereka yang tidak mempunya harta dan tak dapat berusaha atau ada usaha tetapi tidak
mempunyai harta dan tak cukup usahanya itu hanya tak sampai 50% untuk
membelanjai rumah tangganya. Umpamanya seorang keperluanya Rp. 100,- sedang di
dapatnya Rp. 30,- atau Rp. 40,-
·
MISKIN, yaitu
orang yang mempunyai harta dan usahanya, tetapi usahanya tidak mencukupi
baginya dan senantiasa kekurangan, umpamanya ada hartanya dan usahanya sedang
itu hanya menghasilkan Rp. 70,- sehari, padahal pembelanjaanya semestinya
menurut kebiasaan Rp.100,- perhari
·
‘AMIL, yaitu
mereka yang disuruh oleh kepala agama (raja) untuk mengumpulkan zakat yang akan
di bagi-bagi kepada yang mustahaknya, syarat menjadi ‘amil itu hendaklah orang
Islam, Merdeka, Mukallaf, Laki-laki adil, dapat melihat dan mendengar (jangan
buta dan pekak).
·
MUALLAF, yaitu
mereka yang baru masuk Islam, diberikan kepadanya zakat agar menarik perhatian
dan menjinakkannya, hingga keislamannya bertambah kokoh dan imannya menjadi
kuat.
·
HAMBA MUKATAB,
ialah hamba yang dijanjikan akan dimerdekakan oleh tuannya jika membayar uang
yang lain-lain kepadanya.
·
GHARIM, yakni
orang yang berhutang yang tidak sanggup untuk membayarnya, atau berhutang
kepada seseorang oleh karena keperluan masyarakat, dan lain-lainnya.
·
FISABILILLAH,
li’ilai kalimatillah, berjuang dan berperang melawan orang kafir, guna untuk
mempertahankan dan menegakkan agama Allah atau jalan untuk ketinggian agama
Allah SWT.
· IBNUSSABIL,
yaitu mereka yang musafir yang bukan safar (perjalanan) maksiat, kebetulan kehabisan perbelanjaan
ditengah perjalanannya, sedangkan yang cukup belanjanya, maka kepada yang
demikian tidak di berikan zakat.
2. Memberikan zakat fitrah kepada satu orang saja.
Biasanya pada setiap Dayah
atau Pesantren para murid memberikan zakatnya kepada ulama di pesantren
tersebut, dan zakat fitrah itu adalah hak beliau dan tidak dibagi-bagikan lagi
kepada salah satu snif yang delapan di atas. Apalagi pada semua snif. Ini
bertentangan dengan mazhab Syafi’i, tetapi inilah kenyataan kejadian. Maka
bolehkah hal demikian tersebut? Menurut mazhab Syafi’i tidak boleh, tetapi
harus dibagi-bagikan kepada beberapa snif yang ada. Akan tetapi menurut
pendapat Ibnu Ujail adalah boleh. Begitu tersebut dalam Kitab Fathul Mu’ain.
Ibnu Ujail bukanlah seorang yang bodoh tentang apa yang dimaksudkan dalam kitab
suci Al-Qur’an mengenai snif yang 8 di atas. Namun, dalam Kitab Mizan Sya’rani terdapat
nash yang berbunyi:
وَمَنْ ذَلِكَ
قَوْلُ أَبِى حَنِيْفَةَ إِلَى أَنْ قَالَ: وَوَجْهُ اْلأَوَّلِ أَنَّ الْمُرَادَ
بِصِيْغَةِ جَمْعِ الْفُقَرَاءِ فِىْ آيَة "إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ
لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ" الْجِنْسُ وَكُلُّ مَنْ كَانَ فَقِيْرًا
اُعْطِيَ الزَّكَاةَ وَلَوْ كَانَ وَاحِدًا. (الميزن)
Menurut pendapat Abu Hanifah, pengertian yang pertama adalah bahwa yang
dimaksud dengan pola jamak lafal al-fuqara’ pada surat at-Taubah ayat 60:
“Sesungguhnya zakat itu bagi kaum fakir miskin”, adalah isim jenis
(spesies). Karenanya maka setiap orang fakir berhak diberi zakat walaupun hanya
satu orang saja.
Kesimpulan
Marilah kita umat Islam di mana saja kita berada dapat mencamkan
rahasia-rahasia puasa dengan hikmah-hikmahnya menurut kemampuan kita. Marilah
kita semua menyesali perbuatan kita dan tindak tanduk kita selama ini. Kita
menggebu-gebu untuk keberhasilan pelaksanaan syariat Islam tetapi setelah
berhasil menurut apa yang telah kita dapati maka mulailah sirna satu persatu,
tekad-tekad kita dan cita-cita kita. Karena tekad dan cita-cita itulah kita
bersungguh dan berjuang untuk memperolehnya dan berhasil di alam nyata. Akan
tetapi setelah kita memperolehnya kita lupa sama sekali atas tekad kita itu
dengan segala macam predikat yang kita ungkapkan. Apakah itu predikat
pelaksanaan syariat Islam, apakah itu predikat agar Islam berdaulat di daerah
umat Islam, tapi akhirnya semuanya adalah lacur belaka. Hendaklah kita
menyadari, janganlah nilai-nilai yang jelek ini menjadi warisan kita kepada
generasi anak cucu kita yang akan datang. Karena apabila Allah bertindak lagi
kepada umat Islam ini, maka Islam dan umat Islam dengan segala kejayaannya akan
hancur berantakan yang tidak bisa dan tidak mungkin secara adat ditumbuhkan
lagi oleh generasi anak cucu kita, sehingga akan tinggallah semboyan belaka,
“adat bak poe teumeuruhom, hukom bak syiah kuala”, dan sebagainya-sebagainya.
Inilah yang diperingatkan oleh Imam Syafi’i r.a. dalam masa hidupnya sekian
abad dahulu
الاسلام محجوب
بالمسلمين
Islam itu
terdinding dengan umat Islam sendiri.
Kata mutiara Imam Syafi’i ini menjadi hikmah penting dan semboyan utama
bagi Syeikh Muhammad Abduh Syaikhul Azhar dan Syaikh Jamaluddin Al Afghani,
yaitu dua orang ulama Islam serta pejuang Islam yang telah berbuat untuk
kejayaan Islam di Timur Tengah pada umumnya dan di Mesir pada khususnya.
Sehingga sampai kedua pejuang ini berhijrah ke Prancis untuk memperjuangkan
kemerdekaan negeri Islam dan umat Islam, dan oleh karena politik yang
dikembangkan oleh penguasa-penguasa Islam di Arab merugikan Islam dan
memundurkan Islam dan umat Islam itu sendiri. Maka Muhammad Abduh menafsirkan
kata Imam Syafi’i dengan kalimat:
نَعُوْذُ
بِاللهِ مِنْ كَلِمَةِ السِّيَاسَةِ وَمِنْ مَعْنَ السِّيَاسَةِ وَمِنْ كُلِّ
حَرْفٍ مِنْ حُرُوْفٍ السِّيَاسَةِ.
Kami
berlindung kepada Allah dari kalimat politik, dari makna politik, dari setiap
huruf dari huruf-hurufnya politik.
Itulah penafsiran Syeikh Muhammad Abduh seorang alim besar Ahlussunnah Wal
Jamaah di Mesir yang bermazhab Hanafi, dan pernah menjadi Syaikhul Azhar dan
mufti besar di Mesir.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Yunus ayat 15:
Katakanlah: "Hai manusia, Sesungguhnya teIah datang kepadamu kebenaran
(Al Quran) dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk maka
sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. dan barangsiapa
yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri.
dan Aku bukanlah seorang Penjaga terhadap dirimu".
Dalam surat Al-An’am ayat 90, Allah SWT berfirman:
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka
ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu
dalam menyampaikan (Al-Quran)." Al-Quran itu tidak lain hanyalah
peringatan untuk seluruh ummat.
Dalam Surat Al-Baqarah ayat 38, Allah berfirman:
Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada
kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati".
وَدَعَا رسول
الله صلى الله عليه وسلم: شَأْنِ وَقْعَةِ الطَّائِف اَللَّهُمَّ اهْدِ قَوْمِ
فَإِنَّهُمْ لاَيَعْلَمُوْنَ.
“Yaa Allah tunjukilah kaumku karena sesungguhnya mereka masih
belum mengetahuinya juga.”
Rasulullah SAW telah berdo’a berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah kepada
beliau di Mekkah: Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai
dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Sumber :
Abuya Prof. Dr. Tgk. H. Muhibbuddin Waly Al-Khalidy
Thanks for reading & sharing PENGAJIAN FIQIH
0 komentar:
Post a Comment