Menurut kehendak ilmu pengetahuan, tentu tidak. Tetapi menurut
kenyataan, bahwa syarat-syarat ijtihad yang diperlukan sudah tidak ada lagi
pada setiap ilmuwan hukum yang muncul di setiap zaman itu. Jangankan
syarat-syarat ijtihad bagi mujtahid mutlaq, bahkan syarat-syarat ijtihad bagi
mujtahid fatwa itupun secara adapt, nampaknya umat manusia telah putus asa.
Karena itulah, sejak dari pertengahan abad ke-IV Hijriyah hingga sekarang,
sejarah Islam telah mencatat hal keadaan ini termasuk sebagai masa taqlid atau
periode taqlid madzhab.
Apalagi para
pemikir Islam sudah tidak berdaya mengeluarkan pendapat mereka dengan sebab
hal-hal yang kita ketahui dalam perkembangan sejarah umat Islam. Dan kemudian
datang pula kekuasaan colonial menyusup ke semua Negara yang banyak pemeluknya
beragama Islam, seperti di Afrika, Timur Tengah dan Asia. Secara sadar
perkembangan Islam itu dilumpuhkan dengan mengadu domba antara satu kekuatan
terhadap lainnya. Bahkan Islam dianggap sebagai kekuatan anti colonial yang
perlu dikucilkan, sehingga tidap dapat berkembang secara bebas. Dan menurut
Arnold Toynbee, bahwa kehancuran fisik Islam sedemikian dahsyat, sehingga
segala buku pengetahuan banyak dibakar dan Baghdad dimusnahkan oleh pasukan
Mongol di bawah pimpinan Hulaghu Khan, pada tahun 656 H/1259 M., berarti sama
dengan kemunduran peradaban manusia lima abad ke belakang.
Karena bukti
sejarah telah menyatakan, bahwa sejak dari pertengahan abad ke IV itu sudah
tidak ada lagi mujtahid mutlaq, cuma yang ada hanya mujtahid madzhab, yang
hanya mampu menggali masalah-masalah hukum dari Al-Qur’an dan Hadits tetapi
harus berpegang kepada qaidah-qaidah ciptaan masing-masing mujtahidnya. Habis
pulalah Ulama Islam tingkat ini dalam abad ke V Hijriyah, seperti Ibnu Araby
dan Ibnu Rusyd dalam madzhab Al-Maliky, Abu Yusuf, Muhammad Zufar, dan
lain-lain dalam madzhab Al-Hanafy, Buwaithy dan Masiny dalam madzhab
Asy-Syafi’iy.
Kemudian timbul
mujtahid yang lebih di bawah lagi, yaitu mujtahid fatwa, dimana tidak
ada kemampuan bagi mereka selain dari pada memilih mana yang lebih kuat dari
pendapat-pendapat para sahabat mujtahid mereka masing-masing. Tingkatan ini
adalah profil Imam Nawawy dan Imam Rafi’iy dalam madzhab Asy-Syafi’iy dan
tingkatan ini telah habis pula pada pertengahan abad ke-VIII Hijriyah. Dan
setelah itu, barulah dikenal dengan ilmuan-ilmuan yang hanya tadid semata-mata,
meskipun diantara mereka ada yang mendakwakan dirinya telah sampai pada
mujtahid muthlaq, seperti Asy-Syaukany Ijtihaad selalu terbuka:
Meskipun secara
kenyataan seolah-olah tidak ada lagi Mujtahid Muthlaq yang mampu menyusun ushul
fiqhnya tersendiri, dimana terlepas dari pada ilmu pengantar hukum ciptaan
mujtahid lainnya, namun para ulama telah berfatwa, bahwasanya pintu penggalian hukum
yang dalam istilah hukum Islam dikenal dengan ijtihad itu, tetap terus terbuka
hingga akhir zaman. Tetapi sudah barang pasti yang boleh memasukinya adalah
ilmuwan yang cukup padanya segala syarat-syarat yang diperlukan dan apabila tidak
ada syarat-syarat yang diperlukan itu, maka tertutuplah ijtihad kepadanya.
Sumber :
"Penggalian Hukum Islam dari Masa Ke Masa"
(Prof. Dr. Tgk. H. Muhibbuddin Waly)
Thanks for reading & sharing PENGAJIAN FIQIH
0 komentar:
Post a Comment