Mengenai penggalian hukum di zaman Nabi Besar Muhammad SAW dapat
dilihat kepada dua macam periode:
Pertama :
Periode sebelum hijrah Nabi SAW ke Madinah.
Yakni sejak dari permulaan turun wahyu kepada Baginda hingga sampai pada waktu
hijrahnya. Masa ini meliputi lebih kurang 13 tahun. Dalam periode ini sangat
sedikit hukum-hukum yang merupakan syari’at Islam, seperti shalat, zakat yang
masih belum begitu ada pembatasannya, puasa pada sebagian hari, dan lain-lain.
Sebab dalam periode ini lebih dititikberatkan kepada menghimbau manusia kepada
rukun-rukun iman, di samping menunjuki mereka kepada akhlak dan pribadi yang
mulia.
Ayat-ayat
yang turun dalam periode ini disebutkan dengan ayat-ayat Makkiyyah dan
jumlahnya lebih kurang 2/3 Al-Qur’an.
Kedua :
Periode
sesudah hijrah Nabi SAW ke Madinah dimana masanya lebih kurang 10 tahun. Barulah setelah
Nabi berada di Madinah umat manusia yang beriman kepada Allah sudah membutuhkan
hukum-hukum keagamaan dan nilainya yang mengatur kemasyarakatan dalam arti yang
luas.
Masalahnya karena di
Madinah Nabi Muhammad SAW sudah mulai membentuk kenegaraan dengan
organisasinya. Itulah sebabnya maka ayat-ayat Madaniyyah lebih banyak
dititikberatkan kepada hukum-hukum keagamaan dalam arti yang luas dan ayat-ayat
untuk itu jumlahnya lebih kurang 1/3 Al-Qur’an.
Sumber-Sumber Hukum Islam Sekarang Ini
Sumber-sumber hukum
Islam di zaman Nabi Muhammad SAW baik periode sebelum hijrah dan sesudahnya
adalah Kitab Suci Al-Qur’an. Sunnah dan Hadits beliau berupa perkataanya,
perbuatannya dan taqrirnya. Sebab sunnah dan hadits beliau pada hakikatnya
merupakan wahyu yang tidak tertulis. Karena itu hal keadaan ini bukan hanya
saja pedoman bagi beliau sendiri, tetapi juga bagi para sahabatnya. Inilah yang
dimaksud dengan ayat 44 surat An-Naml :
Dikatakan
kepadanya: "Masuklah ke dalam istana". Maka tatkala Dia melihat
lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua
betisnya. berkatalah Sulaiman: "Sesungguhnya ia adalah istana licin
terbuat dari kaca". berkatalah Balqis: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku
telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman
kepada Allah, Tuhan semesta alam".
Ayat di atas menyatakan, bahwa Nabi Muhammad adalah yang berhak
mengungkapkan kepada umat manusia pengertian Kitab Suci Al-Qur’an supaya
manusia itu dapat berpikir selanjutnya. Dengan demikian, maka terhindarlah
perbedaan paham di kalangan manusia dengan kembali kepada petunjuk dan rahmat
Allah buat orang-orang yang beriman. (Lihat ayat 64 surat An-Nahl).
“Dan
Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu
dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”
Sumber hukum yang ketiga di zaman Nabi ialah, syari’at Nabi
sebelumnya selama tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang terdapat dalam
Al-Qur’an. Menurut pendapat yang terkuat di kalangan ulama Ushuliyyin, bahwa
syari’at Nabi sebelumnya ialah syari’atnya Nabi Ibrahim a.s. karena Rasulullah
lebih banyak menyelidiki syari’at Ibrahim a.s., terutama sebelum beliau
diangkat oleh Allah SWT selaku Nabi dan Rasul. Tetapi hal keadaan ini bukan
berarti Nabi kita termasuk umat Nabi Ibrahim, sebab kelahiran Nabi Muhammad
adalah sesudah zaman fatrah yang begitu panjang.
Sumber hukum yang
keempat bagi zaman Nabi ialah ‘urf, atau dengan kata lain adat istiadat
bangsa Arab, dimana akal dapat menerimanya dengan baik dan kemanusiaan yang
adil dan beradab turut juga menilainya. Sudah barang pasti sumber hukum ini
berlaku selama tidak bertentangan dengan wahyu Al-Qur’an. Misalnya hukum yang
masih berlaku dalam lapangan jual beli dengan istilah aqad-salam, yakni,
jual beli dengan gambaran yang jelas dan tunai, tetapi barangnya belum ada.
Juga hukum mudhaarabah, yakni seorang memberikan modal kepada orang lain
dengan maksud ada ketentuan laba antara keduanya berdasarkan syarat-syarat yang
diatur oleh kedua belah pihak.
Dari sumber hukum
inilah para ilmuwan fiqh membuat qaidah-qaidah sebagai berikut:
اَلْمَعْرُوفُ
عُرْفًا كَالْمَشْرُوطِ شَرْطًا. اَلْمَعْرُوفُ عُرْفًا كَالْمَشْرُوطِ شَرْعًا.
الثَّابِتُ بِالعُرْفِ كَالثَّابِتِ بِالنَّصِ العَادَةِ مُحَكَّمَة.
Hal yang di urufkan secara urf itu seperti hal yang disyaratkan
secara syarat. Hal yang di urufkan secara urf’ sebagaimana hal yang disyaratkan
scara syari’at. Ketetapan dengan uruf sepertimana ketetapan dengan kebiasaan Nas yang
dihukumkan.
Sumber hukum ini berlakunya selama tidak bertentangan dengan
syarat-syarat yang diatur oleh kedua belah pihak. ‘Urf atau ‘adah
ini di samping telah berjalan sebelumnya dan juga masih berlaku pada ketika
kasus sesuatu masalah itu terjadi. Dan yang paling penting adalah tidak
bertentangan dengan Kitab Suci Al-Qur’an atau Sunnah Nabi. Selama ‘urf atau
adat istiadat itu tidak ditunjang secara nyata oleh Al-Qur’an atau Sunnah Nabi,
maka hukum sesuatu berdasarkan sumber hukum ini bisa berubah, apabila datang ‘urf
atau adat istiadat yang lain.
Atas sumber hukum
inilah ditempatkan firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 199 :
“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
Juga dalam surah Al-Baqarah ayat 233:
“Dan
kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf.”
Bahkan Nabi sendiri telah bersabda;
مارآه
المسلمون حسنا فهو عند الله حسن.
Bahwa
sesuatu yang dianggap oleh umat Islam itu adalah baik, berarti itu adalah baik
juga di sisi Allah.
Ijtihad Rasulullah SAW
Berbicara mengenai
ijtihad Nabi sendiri sudah termasuk dalam pemahaman firman Allah mengenai
anjuran musyawarah; dalam surat Ali Imran, ayat 159 dan surat Asy-Syura, ayat
38:
“Dan bermusyawaratlah dengan mereka
dalam urusan itu “
“Sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka”
(الشورى: ٣٨)
Sedangkan musyawarah adalah pada lapangan yang bersifat ijtihad,
bukan pada sesuatu yang hukumnya berdasarkan wahyu. Hal keadaan ini tidak ada
musyawarah padanya. Dan bukankah kita semua telah memaklumi mengenai keterangan
Nabi, bahwa mujtahid sebagai penggali hukum apabila betul mendapat dua pahala
dan apabila salah mendapat satu pahala.
الحاكم
إذا اجتهد فأصاب فله أجران وإذا أخطأ فله أجر واحد (الحديث كما قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم).
Apabila seorang hakim
berijtihad sedangkan ia benar (dalam ijtihadnya) maka baginya dua pahala, dan
apabila ijtihadnya salah maka baginya satu pahala.
Dan dalam ucapan Nabi ini secara umum termasuk pula diri beliau, alaihisshalaatu
wassalam.
Sumber :
Buku Penggalian Hukum Islam dari Masa ke Masa
Abuya Prof. Dr Tgk. H Muhibbuddin Waly
Thanks for reading & sharing PENGAJIAN FIQIH
0 komentar:
Post a Comment