Adapun fidyah sembahyang dan
fidyah puasa kalau di Taqlidkan (mengikuti) kepada wajah (menurut pendapat)
dalam mazhab Syafi’i maka adalah fidyah tersebut boleh (hukumnya). Dan lagi
sebagaimana yang telah dimaklumi dalam hadist Nabi الميت
كالغريق... الخ artinya orang yang mati itu seperti orang yang Karam (atau tenggelam), tentu saja bagi orang-orang
yang berakal dan sebahagian yang ada kasih sayang menolong orang karam itu
dengan jalan apa saja yang mungkin (dapat) ia membantunya. Dalam kitab I’anut
Thalibin, juzu’ 3 nomor 244 :
(قوله وفعل به) اى وعمل بهذا القول وهو قضاء الصلاة و فى حواشى
المحلى للقليوبي قال مشايخنا وهذا من عمل الشخص لنفسه فيجوز تقليده لأنه من مقابل
الأصح الخ.
(Dan bermula mengejarkan yang tersebut itu), yaitu mengamalkan
dengan pendapat ini yaitu mengqadha shalat, dan menurut kitab Hasyiah al-Mahalli bagi imam Qalyubi telah berkata
guru-guru kita bahwa mengamalkan perbuatan ini oleh seseorang bagi dirinya maka
diperbolehkan mentaqlidkannya karena sesunggunya ini masuk kedalam pendapat
Muqabil Asah, hingga akhir.
Lebih-lebih lagi menurut (satu) hadist (yang bebunyi) :
من
قلد عالما لفي الله سالما
Barang siapa yang ikut orang alim (ulama) maka Allah akan
berikan keselamatan.
Adapun tahlil yang demikian (yang dibacakan) oleh orang
singkil itu kalau didoakan sesuatu itu maka doanya memberi manfaat karena (sesuai
dengan keterangan) ayat seperti jawab soal kenduri tadi (yaitu pembahasan yang
telah dibahas dibelakang), yaitu ربنا اغرلنا الخ dan hasilah pahala tahlil itu bagi mayit
ketika istijabah doanya, Nasnya dalam kitab Ianut Thalibin, juzu 2, nomor 220 :
ومعنى نفسه بالدعاء حصوله
المدعوبه له اذا استجابته محض فضل من الله تعالى
الخ.
Dan makna jiwanya dengan berdoa hasilnya yang
didoakan dengannya niscaya baginya doa apabila ter-istijabahnya maka Allah memberikan keutamaan, dan seterusnya
(penjelasannya).
Dan keterangan lebih
lanjut lagi (ada) didalam hal fidyah sembahyang, (bisa) lihat dalam kitab I’anatut Thalibin, juzu 1, nomor 24 pada (keterangan bab) “Faedah”.
Sumber :
Kitab Al-Fatawa
Abuya Syeikh Muhamamd Waly Al-Khalidy As-Syafi'i Al-Atchi
Meniatkah Fidyah Puasa kepada Seseorang, Sahkah Hukumnya ?
Posted by PENGAJIAN FIQIH on Thursday, 22 June 2017
Bagaimana hukum orang yang menusukkan jarum kedalam kulit apabila ia sedang berpuasa ? sahkah secara hukum atau tidak ?. Selain itu bagaimana hukum menghirup asap atau dukhan ? jika memang batal lalu bagaimana penjelasan fiqih yang mengatakan bahwa segala hal yang dapat membatalkan puasa adalah hal-hal yang masuk ke rongga berlubang, seperti hidung, lubang farji, lubang zakar, telinga, dan dubur ? sedangkan memasukkan jarum ketempat yang bukan berongga bagaimanakah hukumnya ?
Abuya Muda Waly (Syeikh Muhammad Waly) menjawab :
(Dalam kitab) Tuhfah, juzu 3, nomor 401 :
و القول بان الدخان عين
ليس المراد به العين هنا و بخلاف الوصول لما لا يسمى جوفا كداخل مخ الساق او لحه
بخلاف جوف اخر ولو بأمره لمن طعنه فيه.
(قوله كداخل مح الساق الـــخ) و ينبغى ان مثل ذلك فى عدم الضرر مالو افتصد مثلا فى
الانثيين و دخلت الة الفصد. ع.ش (قوله ولو بأمره الـــــخ) راجع الى المتن اى ولو
كان وصول العين بأمره الـــــخ, فانه يجيب الأمساك عنه.
Dan adapun perkataan Musannif
: “bahwasanya asap itu merupakan dzat yang tidak
dimaksudkan dalam pembahasan disini (yaitu
diluar hal yang dimaksud), dan berbeda bagi sesuatu yang sampai yang tidak dinamakan sebagai hal yang berongga,
seperti orang yang memasukkan sumsum betis
(atas sesuatu) atau daging dengan berbeda (hal yang) berongga yang lain
walaupun dengan perintah (memasukkan sesuatu) bagi orang-orang yang berobat”.
Dan pada halaman
411 :
(ولا يفطر
بالفصد) بلا خلاف (والحجامة عند) اكثر العلماء لخبر البخارى عن ابن عباس انه صلى
الله عليه و سلم اجتحم وهو صائم و احتجام وهو محرم وهو ناسخ للخبر المتواتر فطر
الحاجم و الحجوم لتأخره عنه كما بينه الشافعى رضى الله عنه, و صح فى خبر عند الدارقطني
لما يصرح بذلك نعم الاولى تركهما لانهما يضعفانه.
(Dan tidak
dapat membukakan puasa dengan sebab berbekam) dengan ketiadaan perbedaan
pendapat ulama. (dan bermula Hijamah[1]) menurut
kebanyakan ulama karena ada hadist bukhari dari ibnu Abbas, bahwasanya
Rasulullah berihijamah sedangkan Nabi sedang berpuasa. Dan bermula hijamah itu
adalah diharamkan karena ternasakh (terhapus status hukumnya) karena ada
(datang) hadist mutawatir : “Terbukalah puasa orang yang menghijamah dan yang
dihijamahkan”, sepertimana menurut Imam Syafi’i, dan bermula sah (berhijamah) bagi
hadist menurut Imam ad-Daraqtany yang mentasrihkan dengan hal tersebut pada
pendapat pertama yaitu meninggalkan hijamah dan fasad karena keduanya itu
adalah khabar lemah.
Dan pada
halaman 425 :
(و) يسن (ان
يحترز عن الحجامة) و الفصد لما مر فيهما
Dan disunnahkan hijamah bahwasanya mengindahkan hijamah dan fasad (yaitu proses mengeluarkan darah) bagi sesuatu perkara
keduanya, pada hijamah dan
fasad
(قوله لما مر فيهما) اى من
انهما يضعفانه
(Berkata
Musannif :
bagi perkara keduanya) adalah diantara keduanya itu (Hijamah dan fasad) kedua-duanya
lemah (Illatnya).
(Dapat) dipahami
dari (hal) ini segala nas (bahwa) tidak-lah (dapat) berbuka puasa dengan sebab
berjarum atau berjiksi, asal jangan dijarum ditempat yang berongga yang terbuka
(seperti hidung, mulut, lubang farji, dan telinga), sebagai-mana tentang perut
atau tentang zakar umpamanya walaupun tidak terbuka puasa pada yang selain dari
rongga yang terbuka tetapi (hal yang tersebut itu adalah) khilaf ula (atau
makruh) karena Illat mendhaifkan, Wallahu A’lam.
Sumber :
Kitab Alfatawa
Syeikh Muhammad Waly Al-Khalidy As-Syafi'i Al-Atchi
[1] Hijamah adalah salah satu bentuk pengobatan Nabi SAW
dengan cara darah kulit dihisap dengan suatu alat. Antara Hijamah dan Fasad
adalah sama, yaitu sama-sama menarik atau menghisap darah dari tubuh dengan
menggunakan alat.
Batalkah Puasa jika Menyuntik Tubuh atau Berbekam ?
Posted by PENGAJIAN FIQIH on Tuesday, 20 June 2017
Didalam ibadah puasa ramadhan
tentunya kita sebagai umat muslim pernah meninggalkan atau tertinggalkan satu
atau beberapa hari dalam puasa. Sudah pasti sebabnya jika tidak karena
menyengajakannya, yaitu meninggalkan puasa dengan sengaja ataupun karena alasan datangnya beberapa halangan seperti haidh, nifas ataupun udzur seperti musafir dan karena sakit.
Semua ini adalah sebahagian sebab dimana puasa menjadi tertinggal. Oleh
karenanya maka mengatasi dan melengkapkan kembali ibadah puasa yang tertinggal tersebut, Syariat Islam
memberikan jalan dengan kifarat dan fidyah bagi mereka.
Allah berfirman didalam al-Qur’an
:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ . أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرُُ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.
Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu), memberi makan seorang miskin.
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang
lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui."
(Al-Baqarah:
183-184).
Kifarat secara bahasa bisa
berarti hukuman, jika di istilahkan adalah hukuman-hukuman ataupun denda bagi
siapapun yang tertinggalkan puasa. Sedangkan Fidyah adalah membayarkan
denda selain menggantikan puasa, seperti tertinggal puasa lalu menggantikannya
dengan makanan pokok. Didalam kifarat dan fidyah ada beberapa macam modelnya.
Dan dibawah ini adalah fidyah dan kifarat bagi seseorang yang melanggar puasa
ramdhan :
Pertama : Hukuman Berjimak di Siang Hari
Orang yang sengaja memasukkan
hasyafah zakar kedalam farji perempuan didalam puasa walaupun tidak keluar mani
maka ia harus menuruti kesanggupan tertib hukuman yang dimulai ia : 1). Harus
memerdekakan budak perempuan yang beriman, jika tidak didapati maka ia 2).
Harus berpuasa berturut-turut selama dua bulan, jika putus satu hari saja
dengan senagaja maka ia harus mengulangi kembali sebanyak dua bulan. Jika tidak
sanggup mungkin karena udzur sudah tidak kuat berpuasa maka ia 3). Harus
memberikan makanan kadar satu mud (3.1 liter) kepada 60 fakir miskin yang kadar
satu mud untuk setiap mereka.
Berkenaan hal ini telah
dijelaskan oleh Rasulullah SAW yang diriwiyatkan oleh Imam Bukhari, 2600 dan
Imam Muslim 1111. Bahwa dari Abu Hurairah berata :
قَالَ جَاءَ رَجُلٌ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَكْتُ فَقَالَ
وَمَا ذَاكَ قَالَ وَقَعْتُ بِأَهْلِي فِي رَمَضَانَ قَالَ تَجِدُ رَقَبَةً قَالَ لا
قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لا قَالَ
فَتَسْتَطِيعُ أَنْ تُطْعِمَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لا قَالَ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ
الأَنْصَارِ بِعَرَقٍ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ فِيهِ تَمْرٌ فَقَالَ اذْهَبْ بِهَذَا
فَتَصَدَّقْ بِهِ قَالَ عَلَى أَحْوَجَ مِنَّا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَالَّذِي بَعَثَكَ
بِالْحَقِّ مَا بَيْنَ لابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ مِنَّا قَالَ اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ
أَهْلَكَ
"Seseorang datang kepada
Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah,
celakalah saya!" Beliau bertanya, “Ada apa dengan anda?" Dia
menjawab, “Saya telah berhubungan intim dengan istri sementara saya dalam
kondisi berpuasa (Di bulan Ramadan)," Maka Rasulullah sallallahu alaihi wa
sallalm bertanya, “Apakah anda dapatkan budak (untuk dimerdekakan)?" Dia
menjawab, “Tidak." Beliau bertanya, “Apakah anda mampu berpuasa dua bulan
berturut-turut?" Dia menjawab, “Tidak." Beliau bertanya, “Apakah anda
dapatkan makanan unttuk memberi makan kepada enampuluh orang miskin?" Dia
menjawab, “Tidak." Kemudian ada orang Anshar datang dengan membawa tempat
besar di dalamnya ada kurmanya. Beliau bersabda, “Pergilah dan bershadaqahlah
dengannya." Orang tadi berkata, “Apakah ada yang lebih miskin dari diriku
wahai Rasulullah? Demi Allah yang mengutus anda dengan kebenaran, tidak ada
yang lebih membutuhkan diantara dua desa dibandingkan dengan keluargaku."
Kemudian beliau mengatakan, “Pergilah dan beri makanan keluarga anda.”
Imam Al-Mughni, pengarang kitab
Al-Mughni jilid 4 halaman 372 menjelaskan bahwa masuknya hasyafah baik
keluarnya mani ia ataupun tidak maka tetap hal itu dapat membatalkan puasanya.
Namun mengenai sedikit ataupun
tidak hilangnya hasyafahnya didalam farji perempuan maka hukumnya tidak sah
dalam puasa.
Hukuman kifarat diatas berlaku
siapa saja yang telah memasukkan penuh hingga hilang hasyafah zakar baik
didalam zakar perempuan yang sah ataupun tidak sah, ataupun pada dubur manusia
ataupun pada dubur hewan. Demikianlah yang dijelaskan oleh Syeikh Muhammad bin
Ismail Daud As-Syafi’i dalam kitabnya
Matlaul Badrain. Beliau juga mengatakan bahwa hukuman diatas tidak berlaku bagi
yang lupa, tidak mengetahui akan keharamannya, anak-anak, yang sedang musafir,
yang sedang sakit lalu berjimak, yang tidak berniat ada malam harinya akan niat
puasa, seseorang yang telah terbatalkan puasanya karena sebab lain lalu
berjimak, dan yang terpaksa.
Hukuman diatas berlaku untuk
setiap satu hari pelanggaran. Jika misalnya satu hari meninggalkan puasa karena
jimak hingga hilang hasyafah laki-laki didalam farji perempuan maka ia harus
menuruti urutan tertib hukaman yang telah tertera diatas. Jika ia melakukannya
sebanyak dua hari. Jika 10 kali jimak dalm satu hari maka dihitungkannya tetap
satu urutan hukuman, namun jika dalam 3 kali atau 4 kali dalam 3 harinya
ataupun 4 harinya maka ia terkena hukuman x 4 diatas. Contoh jika 3 hari ia
berjimak didalam puasa dengan sengaja, maka ia harus mencarikan 3 budak
perempuan yang beriman untuk dimemerdekakan, jika tidak sanggup maka ia harus
berpuasa 6 bulan bertutut-turut (2 bulan dasar hukuman x 3 pelanggaran = 6
bulan), jika tidak mampu juga maka ia harus memberi makan fakir miskin kadar
permasingnya 1 mud (3.1 liter) sebanyak 180 fakir miskin (60 x 3) jadinya beras
atau makanan pokoknya harus dikeluarkan sebanyak 3.1 x 180 = 558 liter.
Demikianlah seterusnya.
Kedua : Orang Yang
Meninggalkan Puasa karena Sengaja, haidh dan sakit.
Kifarat bagi mereka ini tidak
lain hanyalah menggantikan puasa sebesar berapa hari ia meninggalkan puasanya.
Jika 4 hari maka ia harus menggantikannya nanti setelah ramadhan sebanyak 4
hari jua. Khusus untuk yang meninggalkan puasa karena sengaja, selain hukuman
ia menggantikan puasanya maka ia juga mendapatkan dosa besar dari Allah SWT.
Semua hukuman ini jika tidak
dilakukannya hingga masuk kali ramdhan yang lain maka hukumannya berlipat ganda
sebanyak satu kali. Mengenai rincian hal ini dapat dilihat didalam Kitab Fiqhul
Islam wa Adillatuhu, karya Syeikh Wahbah Ad-Zhuaili. Namun disini dapat kami
menjawab bahwa masalah berlipat ganda kifarat puasa jika masuk waktu ramadhan
lain telah terjadi perbedaan pendapat ulama besar islam. Jumhur Ulama, termasuk
Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad mengatakan harus diqadha dan membayar
kifarat. Sedangkan menurut Imam Hanafy mengatakan tidak ada kifarat akan tetapi
hanya pada menggantikan puasanya saja. Pendapat ini didukung oleh Imam Hasan
Bashri dan Imam Ibrahim An-Nakha’i.
Ketiga : Ibu Hamil dan Ibu
Menyusui
Jika terdapat seorang ibu yang
hamil yang takut jika ia puasa akan menjadikan dirinya lemah maka ia boleh
meninggalkan puasanya dan hanya mengqadha puasa. Namun jika ia membatalkan
puasa karena takut pada dirinya menjadi lemah dan takut kepada anaknya jika
terjadi apa-apa terhadapnya maka ia harus mengqadha puasanya dan membayar
fidyah.
Pendapat ini berasal dari Mazhab
Syafi’i didalam Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, cet ke-2, h. 521, karya : Abdurrahman al-Juzairi :
اَلشَّافِعِيَّةُ
قَالُوا اَلْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا بِالصَّوْمِ ضَرَرًا لَا يُحْتَمَلُ
سَوَاءٌ كَانَ الْخَوْفُ عَلَى أَنْفُسِهِمَا وَوَلِدَيْهِمَا مَعًا أَوْ عَلَى أَنْفُسِهِمَا
فَقَطْ أَوْ عَلَى وَلَدَيْهِمَا فَقَطْ وَجَبَ عَلَيْهِمَا الْفِطْرُ وَعَلَيْهِمَا
الْقَضَاءُ فِي الْأَحْوَالِ الثَّلَاثَةِ وَعَلَيْهِمَا أَيْضًا اَلْفِدَيَةُ مَعَ
الْقَضَاءِ فِي الْحَالَةِ الْأَخِيرَةِ وَهِيَ مَا إِذَا كَانَ الْخَوْفُ عَلَى وَلَدِهِمَا
فَقَطْ
“Madzhab
syafii berpendapat, bahwa perempuan hamil dan menyusui ketika dengan puasa
khawatir akan adanya bahaya yang tidak diragukan lagi, baik bahaya itu
membahayakan dirinnya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja. Maka
dalam ketiga kondisi ini mereka wajib meninggalkan puasa dan wajib
meng-qadla`nya. Namun dalam kondisi ketiga yaitu ketika puasa itu dikhawatirkan
memmbayahakan anaknya saja maka mereka juga diwajibkan membayar fidyah”.
Mengenai ukuran fidyahnya, maka
ia harus mengeluarkan kadar makanan pokok satu mud untuk satu orang faqir
miskin. Namun jika ia meninggalkan 10 hari maka ia harus mengqadhakan puasanya
10 hari dan membayar fidyah 10 mud makanan pokok, seperti beras. Pemberian
fidyah ini bisa untuk satu orang faqir miskin satu mud atau bisa 10 mud untuk
satu orang faqir miskin. Hitungan 10 ini berlaku yang puasanya batal 10 hari.
Jika ia hanya membatalkan puasanya satu hari saja maka ia menghitung kifarat
ataupun fidyahnya adalah hitungan satu hari.
Keempat : Orang Lemah (orang
tua atau tidak sanggup berpuasa lagi)
Adapun golongan yang keempat ini,
ia hanya menggantikan puasanya dengan membayar fidyah. Jika ia meninggalkan
satu hari puasa maka satu mud makanan pokok fidyahnya. Demikian selanjutnya,
tergantung pada berapa hari ia meninggalkan puasanyanya.
Inilah penjelasan singkat
mengenai kifarat dan fidyah puasa bagi seseorang yang meninngalkan puasanya.
Sumber :
Tgk. Habibie M. Waly
S.TH
Unknown
10:11
New Google SEO
Bandung, Indonesia
Bunyi surune atau sirine di waktu fajar tidak asing bagi kita sebagai masyarakat indonesia. Selain berdengingnya surene saat fajar tiba di bulan ramdhan namun surune juga sebagai tanda ada banyak pesan yang disampaikannya. Baik tanda bencana, sebagai tanda masuk dan keluarnya sekolah, atau sebagainya. Namun benda yang berbunyi memanjang ini sepertinya hanya khusus ternilai disaat bulan ramdhan saja, bagi kita surune di bulan ramadhan sudah menjadi dua patokan tanda didalamnya, pertama adalah tanda berbuka puasa dan yang kedua adalah tanda dimana waktu sahur telah habis. Namun bukan disini pembahasan kita, akan tetapi terletak pada makna berhentinya sahur yang menjadi patokan tanda surune, sebahagian masyarakat menganggap bahwa surune berbunyi merupakan tanda sudah habisnya waktu sahur. yang menjadi pertanyaanya adalah, betulkah tanda habisnya waktu sahur terletak pada bunyi surune ?, salahkah secara hukum menjadikan bunyi surune sebagai waktu berhentinya sahur ? dan Bagaimana menurut arahan Rasulullah SAW ?
Didalam islam sejak masa Rasulullah hingga sebelum ditemukannya alat tekhnologi segala tanda dalam ibadah telah diajarkan langsung oleh beliau dan generasi sesudahnya, yaitu generasi para sahabat, tabiin hingga masa tabi' tabiin. Maksud tanda disini adalah tanda bagi masuk dan habisnya waktu shalat, zakat, haji, umrah, puasa dan termasuk waktu habisnya sahur. Para ulama telah mencantumkan hukum-hukum ini didalam kitab-kitabnya. Mengenai batas habisnya sahur telah dijelaskan oleh Allah dan Rasulullah SAW.
Allah berfirman :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187)
Ayat ini diperjelaskan oleh Rasulullah SAW :
إِنَّ بِلالا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
“Sungguh Bilal mengumandangkan adzan di malam hari. Tetaplah kalian makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya.” Dalam riwayat lain disebutkan,
Jelas disini bahwa waktu sahur itu adalah tepat diwaktu azan subuh, jika azan subuh telah berkumandang maka sahur telah habis. Dan segala hal yang bersifat membatalkan puasa, seperti makan, minum, jima, dan lain sebagainya telah diharamkan.
Lalu bagaiaman dengan fungsi adanya surune ?. Surune digunakan sebagai tanda bahwa waktu sahur akan habis. Namun untuk minum, makan dan lainnya yang dapat membatalkan puasa masih bisa dilakukan. Jika dalam ilmu ushul, surune ini digolongkan kepada makna Ihtiyath, Ihtiyath adalah "Menjaga-jaga" atau dalam bahasa lainnya adalah berhati-hati. Ihtiyath dalam ibadah sangat dianjurkan, karena makna berhati-hati atau berjaga-jaga adalah lebih baik dari pada ceroboh. Contoh misalnya ihtiyath saat seusai shalat wajib, ketika kita menganggap bahwa shalat wajib kita sangat kurang pahalanya maka diisi atau di ihtiyathkan dengan shalat sunnah agar shalat wajibnya dapat lebih pahalanya. Contoh lainnya adalah seperti luka pada tangan, jika luka seukuran dua senti maka mengobatinya seukuran 3.5 centi. Dalam ibadah diperlukan hal demikian ini, maka surune adalah seperti pada contoh diatas.
Namun perlu diperhatikan, bahwa mematok tanda habis sahur pada bunyi surune adalah perbuatan yang salah. Karena hukum dasarnya telah dijelaskan oleh Rasulullah. Hal ini perlu diperhatikan baik-baik, karena disebahagian masyarakat kita masih menganggap bahwa tidak boleh lagi makan dan minum jika bunyi surune berdengung. Secara hukum pengambilan dasar dalil semacam ini tidaklah sesuai karena pada dasarnya masalah ini nabi telah menjelaskan secara jelas dan nyata.
Inilah jawaban singkatnya. Semoga amal ibadah puasa kita di terima oleh Allah SWT.
Sumber :
Artikel Tgk. Habibie M. Waly S.TH
Unknown
12:20
New Google SEO
Bandung, IndonesiaDalam bulan suci ramadhan, Allah dan Nabi-Nya selalu menganjurkan bagi setiap hamba untuk melakukan amal ibadah dan kebaikan. salah satunya adalah anjuran untuk membaca al-Qur'an dan menghidupkan malam. Sepertimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW :
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka ia akan mendapatkan satu kebaikan dengan huruf itu, dan satu kebaikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh. Aku tidaklah mengatakan Alif Laam Miim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan Mim satu huruf.” (HR. Tirmidzi)
Jikalah satu huruf membaca Al-Qur'an kita diberi pahala oleh Allah adalah 10 maka satu ayat akan lebih banyak lagi. Kelebihan ini tentunya adalah bacaan Al-Qur'an yang dibaca pada hari-hari biasa. Namun jika kita membacanya pada bulan suci ramdhan maka bisa jadi Allah lipatkan lebih banyak lagi pahala membaca Al-Qur'an. Alasannya karena bulan suci ramdhan adalah bulan yang lebih utama dari bulan-bulan lainya. Selain itu juga di bulan ramadhan ini jualah Al-Qur'an diturunkan. Maka selain itu, demikian jugalah amalan-amalan kebaikan yang lainnya.
Namun bagaimana jadinya jika didalam bulan puasa ada seorang yang tidak melakukan ibadah wajib, seperti shalat sedangkan ia dalam keadaan puasa, sahkah puasanya ?
Secara tinjauan hukum fikih atau secara syari'at, puasa bagi orang-orang yang bermaksiat (salah satunya meninngalkan shalat) adalah sah, didalam fikih hanya mengatur aturan seperti syarat, rukun dan hal-hal yang bersifat undang-undang dalam ibadah, termasuk shalat itu sendiri. Namun walaupun demikian, Rasulullah SAW juga pernah mengancam orang-orang yang tidak shalat Beliau mengatakan :
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكً الصّلَاة
"Antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan meninggalkan shalat." (HR. Muslim)
Disisi lain Allah mengatakan :
مَا سَلَكَكُمْ فِيْ سَقَرَ ، قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ المُصَلِّينَ
"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” SQ. Al-Mudatsir: 42-43.
Bisa diambil kesimpulan disini, bahwa Shalat merupakan ibadah wajib yang harus di taati. Bagaimana bisa melakukan suatu ibadah wajib sedangkan kewajiban ibadah lainnya ditinggalkan ? hal ini pasti tidaklah singkron. Oleh karena itu, secara syariat bahwa orang yang melakukan puasa namun ia tidak melakukan shalat maka hukum puasa itu menjadi batal sendirinya. Karena telah menyia-nyiakan kewajiban perintah Allah SWT. Orang yang melalaikan ibadah shalat maka sama artinya ia termasuk orang-orang fasiq dan yang dibenci oleh Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda :
Rasulullah SAW bersabda :
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy)
Sumber :
Artikel Tgk. Habibie M. Waly
Berpuasa merupakan ibadah seorang hamba kepada Allah dalam hal menahan diri pada tiap-tiap yang dapat membatalkan puasa. Seperti makan, minum, ataupun memasukkan suatu alat lain kedalam anggota yang berlubang. Baik hidung, dubur, mulut dan telinga.
Maksud dari memasukkan sesuatu itu bisa maknanya korek kuping, asap rokok, ataupun memasukan alat kedalam dubur atau qubul. Namun sekarang yang menjadi permasalahan, apakah obat Ventolin untuk penderita asma dapat di gunakan selagi berpuasa ? Tentunya disini adalah bukan disengaja, penyebab penggunaan alat tersebut juga didasari sebab tertentu, seperti sakit misalnya. Apakah keadaan tersebut dapat membatalkan puasa ?
Asma merupakan penyakit pernafasan yang disebabkan penyempitan saluran nafas (bronkhus) yang tingkatnya bervariasi dari waktu ke waktu. Penyakit ini timbul didasarkan atas reaksi peradangan saluran nafas terhadap zat-zat perangsang yang berhubungan dengan penderita. Penderita asma biasa menggunakan ventolin berupa sprayer yang disemprotkan ke dalam mulut ketika asma kambuh. Ventolin ini terdiri dari tiga unsur yaitu: (1) bahan kimia, (2) H20 dan (3) O2. Penggunaan ventolin adalah dengan cara menekan sprayer kemudian gas ventolin masuk melalui mulut ke faring, lalu ke dalam trakea, hingga bronkhus, tetapi ada sebagian kecil yang tetap di faring dan ada pula yang masuk kerongkongan sehingga bisa masuk terus ke dalam perut.
Mengenai penggunaan ventolin, para ulama berselisih pendapat.
Pendapat pertama: puasa tetap sah. Hal ini karena beralih pada satu qaedah imam Syafi'i :
الضرورات توبيح المحضورات
"Keadaan darurat dapat menghilangkan segala yang dilarang".
Dengan kata lain bahwa setiap hal-hal yang dianggap darurat, seperti seseorang dalam kondisi yang sangat haus, untuk menjaga keselamatan jiwanya maka diperbolehkannya minum khamar karena darurat membolehkan yang dilarang.
Oleh karena itu dikatakan :
لاَ حَرامَ مع الضَروراتِ ولا كراهةَ مع الحاجةِ
Tidak ada keharaman jika darurat dan tidak ada kemakruhan jika itu hajat
Dasar kaidah ini adalah firman Allah SWT
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya (Al-baqoroh 173)
Oleh karena itu, posisi orang sakit maka Allah memberi kemudahan baginya. Oleh karena itu, jika Ventolin di hisap oleh yang terkena asma lalu ia menghirupnya sekedar saja dan tidak berlebihan maka didalam fikih puasanya masih tetap sah alias tidak batal.
Mengenai hak diberi kelonggaran untuk melakukan keharaman karena darurat juga ditentukan sesuai dengan kadar. Jika dalam keadaan darurat lalu ia mengkonsumsi hal haram terlalu berlebihan maka hal tersebut tidak di izinkan dalam syariat. Hal ini diungkapkan oleh imam Syafi'i :
مَا اُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدِّرُ بِقَدَرِهَا
``Sesuatu yang diperbolehkan karena keadaan darurat harus disesuaikan dengan kadar daruratnya.`
Pendapat kedua: Penggunaan obat spray asma atau ventolin membatalkan puasa dan tidak boleh digunakan saat Ramadhan kecuali dalam keadaan hajat saat sakit dan jika digunakan puasanya harus diqodho’. Inilah pendapat Dr. Fadl Hasan ‘Abbas, Dr. Muhammad Alfi, Syaikh Muhammad Taqiyuddin Al ‘Utsmani dan Dr. Wahbah Az Zuhailiy. Sebagian ulama mengatakan, bahwa jikalau seseorang sakit atau dalam keadaan darurat maka ia dapat membatalkan puasanya disebabkan karena beberapa obat-obatan yang lain.
Sumber :
Kitab Fiqhul Islam Wa Adillatuhu
Kitab Mabadil waliyah
Kitab Asbah Wan Nadhair.
BREAKING NEWS :
Loading...